deskripsi sungai cimanuk garut
DAS Cimanuk 
6.6.9 DAS Cimanuk
DAS Cimanuk merupakan salah satu penopang
utama sumberdaya air di Jawa Barat. Luas DAS Cimanuk sebesar 3.493 km2
yang terbagi menjadi tiga bagian DAS, yaitu sub-DAS Cimanuk Hulu,
sub-DAS Cimanuk Tengah dan sub-DAS Cimanuk Hilir (Gambar 6.107.).
Cimanuk hulu memiliki luas 145,677 Ha berada di Kabupaten Garut dan
Sumedang. Mata Airnya berasal dari Situ Cipanas. DAS Cimanuk Tengah
memiliki luas 114, 477 Ha berada di Kabupaten Sumedang dan Majalengka.
DAS Cimanuk Hilir memiliki luas 81,299 Ha berada di wilayah Indramayu.
Sungai sepanjang 337,67 km merupakan
sungai terpanjang kedua di Jawa Barat yang mampu menyediakan 2,2 miliar
m3 air per tahun, yang sebagian besar di digunakan untuk irigasi lahan
pertanian. DAS Cimanuk terbentang dari 4 Kabupaten yakni Garut,
Sumedang, Majalengka, Indramayu. Sungai Cimanuk berhulu di kaki Gunung
Papandayan di Kabupaten Garut pada ketinggian +1200 diatas permukaan
laut (dpl), mengalir kearah timur laut dan bermuara di Laut Jawa di
Kabupaten Indramayu. DAS Cimanuk berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah
utara, DAS Ciwulan bagian selatan, DAS Citanduy dan DAS Cisanggarung di
sebelah timur dan DAS Citarum di sebelah baratnya. DAS Cisadane.
Gambar 6.107. Sub-DAS di DAS Cimanuk (Sumber : Balai Data dan Informasi SDA, PSDA Jawa Barat)
A. Karakteristik Lingkungan Fisik
• Geologi dan Geomorfologi
Bentang alam DAS Cimanuk terdiri dari
atas dua aransemen bentang alam, yaitu dataran dan cekungan antar gunung
berbentuk tapal kuda membuka ke arah utara dan rangkaian-rangkaian
gunung api aktif yang mengelilingi dataran dan cekungan antar gunung,
seperti komplek G. Guntur – G. Haruman – G. Kamojang di sebelah barat,
G. Papandayan – G. Cikuray di sebelah selatan tenggara, dan G. Cikuray –
G. Talagabodas – G. Galunggung di sebelah timur. Bentang alam di
sebelah Selatan terdiri dari dataran dan hamparan pesisir pantai dengan
garis pantai sepanjang 80 Km. Evolusi bentang alam yang terjadi di DAS
Cimanuk dapat dijelaskan melalui 2 (dua) pendekatan hipotesis, yaitu:
Menurut Bemmelen (1949), terbentuknya
tataan bentang alam, khususnya di sekitar Garut, dikontrol oleh
aktivitas volkanik yang berlangsung pada periode Kuarter (sekitar 2 juta
tahun lalu sampai sekarang). Setelah terjadi pergerakan tektonik yang
memicu pembentukan pegunungan di akhir Pleistosen, terjadilah deformasi
regional yang digerakan oleh beberapa patahan, seperti patahan Lembang,
patahan Kancana, dan patahan Malabar-Tilu. Khusus di sekitar dataran
antar gunung Garut diperkirakan telah terjadi suatu penurunan (depresi)
akibat isostasi (proses menuju keseimbangan) dari batuan dasar dan
pembebanan batuan sedimen volkaniklasik diatasnya.
Menurut konsep Tektonik Lempeng
(Hamilton, 1979), proses pembentukan gunung api di Zona Bandung tidak
terlepas dari proses pembentukan busur magmatis Sunda yang dikontrol
oleh aktivitas penunjaman (subduksi) Lempeng Samudera Indonesia yang
menyusup sekitar 6-10 cm/tahun di bawah Lempeng Kontinen Asia. Bongkahan
(slab) lempeng samudera setebal lebih dari 12 km tersebut akan
tenggelam ke mantel bagian luar yang bersuhu lebih dari 3000°, sehingga
mengalami pencairan kembali. Akibat komposisi lempeng kerak samudera
bersifat basa, sedangkan mantel bagian luar bersifat asam, maka pada
saat pencairan akan terjadi asimilasi magma yang memicu bergeraknya
magma ke permukaan membentuk busur magmatis berkomposisi
andesitis-basaltis. Setelah terbentuk busur magmatis, pergerakan
tektonik internal (intra-arctectonics) selanjutnya bertindak sebagai
penyebab utama terjadinya proses perlipatan, patahan, dan pembentukan
cekungan antar gunung.
• Jenis Tanah
Jenis Tanah bagian Hulu Lebih kurang dari
32% tanah bagian Hulu adalah Regosol. Jenis tanah yang ada berupa
Regosol Abu-abu hingga Regosol Coklat Abu-abu, yang memiliki kedalaman
sedang hingga dalam dan bertekstur lempung (Loam) hingga lempung
berpasir (Sandy Loam). Jenis tanah lain yang ada berupa Latosol (25%).
Andosol merupakan jenis tanah lain yang banyak ditemui, dengan sebaran
luasan 17%, berupa tanah coklat dengan kedalaman sangat dalam dan
bertekstur lempung. Jenis Tanah bagian Tengah Pada ruas DAS bagian
Tengah hampir 70% berupa tanah Latosol. Pada daerah sekitar sungai dan
tributary, tanah yang ditemui adalah Aluvial dengan kedalaman agak dalam
dan tekstur tanah liat berat berwarna keabu-abuan. Pada DAS Cimanuk
bagian Hulu dan Tengah, jenis tanah yang banyak dijumpai adalah Latosol,
Regosol, dan Andosol Jenis Tanah bagian Hilir Jenis tanah yang ada di
bagian hilir pada umumnya adalah Tanah Gley (78%) dan Alluvial (18%)
sedangkan sisanya berupa tanah Mediteran dan Podzolik.
• Pemanfaatan Lahan
Penggunaan lahan di DAS Cimanuk dibedakan 12 kelas penggunaan lahan
yaitu hutan primer, sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman,
rawa, sawah, semak/belukar, tambak/empang, tanah terbuka,
tegalan/ladang, dan tubuh air. Secara spasial pemggunaan lahan yang
terdapat di DAS Cimanuk terlihat pada Gambar 6.107. Penggunaan lahan di
DAS Cimanuk sebagian besar merupakan sawah yang mencakup kawasan seluas
128.788, 84 Ha atau meliputi 33,22%. Penggunaan lahan terbesar kedua
adalah tegalan/ladang seluas 116.960,92 atau 30, 17 %. Selanjutnya kebun
campuran seluas 72.533,16 atau 18.71 %. Berikut ini disajikan tabel
penggunaan lahan di DAS Cimanuk.
Gambar 6.108. Peta Penggunaan Lahan DAS Cimanuk (PPEJ, 2012)
Tabel 6.97. Penggunaan Lahan DAS Cimanuk
• Potensi Sumberdaya Air
Berdasarkan data yang dimiliki oleh BBWS Cimanuk – Cisanggarung, potensi
sumberdaya air yang di DAS Cimanuk untuk air permukaan sebesar 743.000
m3/tahun dan 470 m3/tahun untuk potensi sumberdaya air bawah permukaan.
Potensi sumberdaya air permukaan berupa sungai, waduk, embung dan
bendungan. Sedangkan untuk potensi sumberdaya air bawah terdiri dari
airtanah dan mataair.
a. Potensi Sumberdaya Air Permukaan
Jumlah waduk yang ada di dalam DAS Cimanuk sebanyak 13 yaitu Waduk Situ
Bener, Waduk Cikajang, Waduk Garut, Waduk Cibatu, Waduk Balekambang,
Waduk Cipanas, Waduj Jatigede, Waduk Kadumalik, Waduk Pasir Kuda, Waduk
Jelegong, Waduk Urug Jaya, Waduk Cipanas dan Waduk Cipelas. Daya tampung
air dari waduk yang ada mencapai 2.633,40 juta m3.
Pemanfaatan air yang terdapat di waduk
digunakan untuk mengaliri daerah-daerah irigasi, air baku dan sebagai
sumber tenaga listrik. Waduk dengan manfaat terbesar terdapat di Waduk
Jatigede dengan volume tampungan sebesar 979,5 juta m3. Waduk Jatigede
mampu mengairi daerah irigasi seluas 90.000 ha dan sebanyak 3.500
liter/detik dimanfaatkan untuk air baku. Waduk dengan tampungan terkecil
berada di Waduk Garut yaitu sebesar 100.000 m3 yang hanya dimanfaatkan
untuk pembangkit listrik sebesar 30 Gwh/tahun. Secara lebih rinci volume
dan pemanfaatan air dalam waduk di DAS Cimanuk dapat dilihat pada Tabel
6.98.
Tabel 6.98. Potensi Waduk DAS Cimanuk
Sungai Cimanuk merupakan sungai yang
potensial sebagai sumber energi karena memiliki debit air yang cukup
besar. Debit sungai yang besar dipengaruhi oleh masukan air yang berasal
dari air hujan dan mataair. Mataair di DAS Cimanuk tersebar di bagian
hulu. Persebaran mata air yang terdapat di DAS Cimanuk terlihat pada
Gambar 6.109.
Gambar 6.109. Lokasi Mata Air Sungai
Cimanuk Sumber : BBWS Cimanuk – Cisanggarung Debit sungai tidak hanya
dipengaruhi oleh masukan air yang berupa hujan dan mataair, tetapi
secara umum dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan dalam satu
kesatuan sistem DAS itu sendiri. Kondisi fisik lingkungan yang
mempengaruhi rata-rata debit tahunan adalah koefisen bentuk sungai dan
rata-rata curah hujan tahunan. Makin besar koefisien bentuk sungai makin
kecil rata-rata debit tahunan, sebaliknya makin besar curah hujan
rata-rata tahunan makin besar rata-rata debit tahunan. Nilai koefisien
bentuk yang besar menunjukkan lebarnya suatu DAS, sehingga bila terjadi
hujan pada DAS yang lebar semakin banyak air yang dapat ditampung dan
tersimpan dalam tanah, dan aliran air membutuhkan waktu yang lama untuk
mencapai sungai tempat pengamatan akibatnya infiltrasi menjadi besar.
Rata-rata curah hujan tahunan ternyata berperan dalam menentukan
rata-rata debit tahunan. Peranannya adalah makin besar rata-rata curah
hujan makin besar pula rata-rata debit tahunan yang dihasilkan.
penelitian. Rata-rata curah hujan tahunan di DAS Cimanuk adalah sebesar
2055,24 mm/tahun.
Debit bulanan tertinggi (Q maksimum) yang
diperoleh terdapat pada DTA Cihanjuang sebesar 33,07 m3/detik, sedang
debit bulanan terendah (Q minimum) terdapat pada DTA Cimanuk Hulu dan
DTA Cidahu sebesar 0,01 m3/detik. Pola penggunaan lahan yang berperan
dalam pendugaan fluktuasi debit adalah tegalan. Semakin besar luas
tegalan, maka fluktuasi debit semakin besar, hal ini mungkin disebabkan
oleh faktor pengelolaan tanah dan tanaman yang diterapkan oleh petani.
Pengolahan tanah yang terus menerus, seringnya lahan terbuka tanpa
tanaman, dan vegetasi yang ditanam umumnya memiliki perakaran dangkal
(seperti kacang-kacangan dan umbi-umbian) yang tidak mampu menahan air,
merupakan faktor yang turut memberikan andil dalam memperbesar aliran
pemukaan pada saat terjadi hujan, sehingga debit air pun menjadi besar.
b. Potensi Sumberdaya Airtanah
Keberadaan airtanah sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
keadaan batuan, morfologi, curah hujan, dan penggunaan lahan. Airtanah
DAS Cimanuk dapat dibedakan menurut tingkat produktifitasnya menjadi
airtanah produktivitas sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan langka.
1) Daerah produktivitas air tanah sangat tinggi
Daerah ini dicirikan dengan adanya air tanah produktivitas sangat
tinggi, debit sumur dapat mencapai lebih 10 liter/detik, misalnya di
Dataran Garut bagian tengah. Pada daerah ini batuan yang bertindak
sebagai lapisan pembawa air adalah endapan aluvium undak sungai dan
batuan gunung api muda.
2) Daerah produktivitas air tanah tinggi
Daerah ini dicirikan dengan adanya air tanah dengan produktivitas cukup
tinggi, debit sumur antara 5 sampai 10 l/dtk, misalnya di Dataran Garut,
dataran pantai Sungai Cisanggarung bagian hilir (sekitar Losari), dan
dataran pantai Sungai Cimanuk bagian hillir (sekitar Jatibarang).
Lapisan akuifer berupa batuan gunung api muda dan lapisan pasir dari
endapan aluvium.
3) Daerah produktivitas air tanah sedang
Daerah produktivitas air tanah sedang menempati daerah pantai utara
Pulau Jawa, antara lain sekitar muara Sungai Cisanggarung dan dataran
Sungai Cimanuk antara Jatibarang sampai Jatiwangi, debit sumur antara 1
sampai 5 l/dtk. Lapisan akuifer utama umumnya bersifat pasiran dari
endapan aluvium atau dari batuan sedimen kurang padu di bagian utara
DAS. Di bagian selatan DAS, lapisan pembawa air berupa batuan gunung api
muda yang dapat memunculkan mata air dengan debit besar.
4) Daerah produktivitas air tanah rendah
Pada daerah ini debit air tanah melalui sumur kurang dari 1 l/dtk, akan
tetapi pada tempat dengan keadaan hidrogeologi tertentu, misalnya daerah
tekuk lereng, dapat ditemukan mata air dengan besar debit bervariasi.
Daerah produktivitas air tanah rendah untuk DAS Cimanuk hampir secara
keseluruhan terdapat pada batuan gunung api muda, terutama di bagian
hulu. Sedangkan untuk DAS Cisanggarung sebagian besar berada pada batuan
sedimen. Air tanah dengan jumlah terbatas dan bersifat musiman berupa
air tanah bebas dapat diperoleh, yaitu pada zona pelapukan yang cukup
tebal.
5) Daerah air tanah langka
Daerah ini karena faktor batuan dan morfologinya sangat kecil
kemungkinan ditemukan air tanah. Daerah air tanah langka ini dapat
ditemukan terutama pada sekitar puncak gunung atau bukit yang ada di
kedua daerah aliran sungai.
• Permasalahan Lingkungan
Degradasi kualitas lingkungan DAS Cimanuk ditengarai dengan tingginya
prosentasi lahan kritis (di dalam maupun diluar kawasan hutan) sehinga
laju erosi lahan dan sedimentasi disungai meningkat, yang selanjutnya
akan mempercepat sedimentasi di danau, waduk dan saluran-saluran
irigasi. Secara umum, permasalahan lingkungan yang terjadi di DAS
Cimanuk berupa:
1. Salah satu indikator yang menjadikan
DAS Cimanuk sebagai DAS yang paling kritis adalah fluktuasi debit pada
saat musim kemarau dan musim hujan. Fluktuasi debit pada saat musim
kemarau dan musim hujan terlihat pada Gambar 6.110.
Gambar 6.110. Fluktuasi Debit pada Musim Kemarau dan Musim Hujan Tahun 2005-2009 (Sumber : Balai Data dan Informasi SDA, PSDA Jawa Barat)
Kekeringan sering terjadi di pantura
Ciayu pada musim kemarau yang mengancam lahan pertanian. Disisi lain,
banjir mengancam lahan pertanian dan perekonomian daerah pada saat musim
hujan. Bencana kekeringan pada musim kemarau selalu melanda daerah
Pantura Cirebon – Indramayu. Di Kabupaten Indramayu terdapat 13 lokasi
rawan banjir seluas 8.834 ha yang perlu mendapat perhatian dan
penanganan lebih lanjut. Sedang lokasi kritis sungai-sungai di wilayah
Indramayu mencapai 30 tempat. Di daerah hilir terutama di musim hujan S.
Cimanuk sering meluap dan menggenangi lahan persawahan.
2. Daerah Tangkapan air sepanjang DAS
Cimanuk banyak terdapat lahan kritis, disertai peningkatan erosi lahan.
Kerusakan dan lahan kritis pada daerah aliran sungai atau DAS Cimanuk,
yang melintas dari Kabupaten Garut hingga Indramayu, ternyata relatif
parah. Gambaran mengenai lahan kritis di DAS hulu terlihat pada Gambar
6.111
Gambar 6.111. Lahan Kritis di Hulu DAS Cimanuk (Sumber : Balai Data dan Informasi SDA, PSDA Jawa Barat)
Kerusakannya sebesar 27,98 persen dari
daerah tangkapan airnya. Menurut Balai Data dan Informasi Sumberdaya Air
Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Jawa Barat, kondisi lahan kritis di
DAS Cimanuk, dari hulu hingga hilir, 40.875 hektar (ha) atau sebesar
27,98 persen dari daerah tangkapan airnya. Luas lahan kritis terbesar
berada di Kabupaten Garut yang telah mencapai 30.442 ha. Dari 11 titik,
terdapat tiga lokasi yang mengalami kerusakan terparah, hingga di atas
35 persen yaitu pada daerah tangkapan air Cimanuk Hulu, Cikamiri –
Ciroyom di Kabupaten Garut serta di Cialing – Cicacaban Kabupaten
Sumedang. Daerah Cimanuk Hulu, memiliki lahan kritis seluas 8.057 ha
atau sebesar 49,73 persen dari daerah tangkapan air. Sepanjang DAS
Cikamiri-Ciroyom lahan kritis seluas 3.572 ha atau sebesar 35,47 persen
di Kabupaten Garut, dan selanjutnya daerah yang mengalami kerusakan
terparah terdapat di sepanjang DAS Cialing-Cicacaban 6.618 ha (46
persen) di Kabupaten Sumedang. Secara spasial terlihat pada Gambar
6.112. dan lebih rinci disajikan pada Tabel 6.99.
Gambar 6.112. Lahan Kritis di DAS Cimanuk
Hulu (Sumber: Balai Data dan Informasi SDA, PSDA Jawa Barat) Tabel
6.99. Luas Daerah Tangkapan Air dan Lahan Kritis DAS Cimanuk
3. Erosi di DAS Cimanuk menimbulkan sedimentasi di Sungai Cimanuk.
Gambar kerusakan DAS Cimanuk yang bersumber dari adanya erosi dan
sedimentasi terlihat pada Gambar 6.113. erosi banyak terjadi di bagian
hulu sungai dan sedimentasi terjadi di bagian tengah maupun hilir
sungai. Besarnya laju erosi di DAS Cimanuk terlihat pada Tabel 6.100
Gambar 6.113. Erosi dan Sedimentasi DAS Cimanuk
(Sumber : Balai Data dan Informasi SDA, PSDA Jawa Barat)
Berdasarkan tabel 6.100. diketahui bahwa
luas sub DAS yang menyumbang erosi terbesar berada di sub-DAS Cimanuk
Hulu yaitu sebesar 2.939.889 ton/ha/tahun. Erosi tanah adalah tanah yang
lapuk dan mudah mengalami penghancuran. Kerusakan yang dialami pada
tanah tempat erosi mengakibatkan kehilangan unsur hara dan bahan
organik, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan
air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, serta
berkurangnya kemantapan struktur tanah yang pada akhirnya menyebabkan
memburuknya pertumbuhan tanaman dan menurunnya produktivitas. Kontur
tanah di kawasan hulu Sungai Cimanuk pada umumnya memiliki kemiringan
lebih dari 40 persen. Dengan kemiringan diatas 40% dan tidak dapat
menyerap air dengan baik menyebabkan air langsung turun ke sungai dengan
membawa material lainnya berupa tanah dan lumpur sehingga menyebabkan
terjadinya luapan air di sungai tersebut yang selanjutnya tersedimentasi
di bagian hilir.
Tabel 6.100. Tingkat Erosi di DAS Cimanuk Hulu
• Pencemaran Lingkungan
Kualitas air di DAS Cimanuk dapat dikategorikan buruk karena hal-hal sebagai berikut:
a) Hampir semua sungai membawa zat padat terlarut dalam alirannya,
dengan kadar yang tinggi, sebagai indikasi adanya erosi lahan di DAS.
b) Parameter COD dan BOD melebihi baku mutu yang disyaratkan.
c) Parameter Phosfat (PO4) dan Chlorida (Cl) melebihi baku mutu yang
disyaratkan, kemungkinan dari limbah pertanian dan perkebunan.
d) Hampir seluruh aliran sungai tercemar sulfat (SO4), sulfida (H2S), besi (Fe), mangaan (Mn) dan seng (Zn) secara berlebihan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar